Ahmadiyah sebuah
agama yang sampai saat ini menjadi perdebatan dan menurut beberapa tokoh
menjadi sumber terjadinya kekerasan. Mulai dari tahun 2007 sampai saat ini
sudah terjadi lebih dari puluhan kasus kekerasan yang menghilangkan nyawa
gara-gara ahmadiyah. Mulai dari kasus di
bogor, jawa tengah dan akhir-akhir ini di
cikeusik pandeglang banten, yang menghilangkan tiga nyawa dan lima orang luka-luka. Menurut beberapa tokoh,
kejadian tersebut karena kurang puasnya terhadap pemerintah yang terkesan
lamban, bahkan membiarkan ahmadiyah merajalela menyebarkan alirannya. Namun
yang menjadi pertanyaan di sini adalah apakah dengan banyaknya kasus kekerasan
dengan alasan bahwa ahmadiyah aliran sesat sampai saat ini bisa teratasi?. Apakah
dengan kekerasan dapat menyelesaikan suatu persoalan?
Sudah lama kasus
kekerasan karena ahmadiyah sering terjadi di Indonesia, namun sampai saat ini,
persoalan tersebut belum menemui titik terang untuk ditemukan solusinya. Masyarakat
yang melakukan anarkis tersebut beralasan bahwa pemerintah lamban mengatasi
masalah, sementara ahmadiyah sendiri tetap pada keyakinannya yang dianggap oleh
sebagian masyarakat dan MUI adalah sesat dan menyebarkan paham tersebut kepada
masyarakat. Mengenai keyakinan ahmadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
memberikan fatwa kepada ahmadiyah sebagai aliran sesat dengan alasan antara
lain mengacu pada sebagian isi dari tadzkirah, kitab umat ahmadiyah.
Diantaranya, Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Rosul “"Dan
katakanlah, Hai manusia sesungguhnya saya rasul Allah kepada kamu
sekalian." (Tadzkirah, hal 352), kemudian Ahmadiyah juga mengklaim
Tadzkirah (kitab karangan sebagai kitab
suci yang paling benar: "Sesungghuhnya kami telah menurunkan kitab
suci Tadzkirah ini dekat dengan Qadhian (India). Dan dengan kebenaran kami
menurunkannya dan dengan kebenaran dia turun." (Tadzkirah, hal 637),
(sumber: inilah.com). H.M. Jamaluddin, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian
Islam, yang juga menjadi pengamat ahmadiyah juga mencatat bahwa dalam buku memperbaiki
kesalahan (judul asli Eik Ghalthi Ka Izalalah), yang ditulis sendiri oleh mirza
gulam ahmad, disebutkan bahwa mirza mengaku menjadi perwujudan dari Nabi
Muhammad saw. (A. Yogaswara, Heboh Ahmadiyah: 2008).
Dalam menangani
kasus ahmadiyah tersebut, pemerintah telah mencoba memberikan solusi yang terbaik, diantaranya
dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri pada tahun 2008.
Namun dengan terbitnya SKB tersebut, dinilai belum mampu mengatasi masalah
ahmadiyah, karena pemerintah kurang sungguh-sungguh dalam penerapannya.
Ahmadiyah yang cenderung menyiarkan dakwahnya terkesan dibiarkan, akhirnya
mengundang masyarakat untuk main hakim sendiri.
Menurt penulis,
tanpa adanya ketegasan dari pemerintah, kasus ahmadiyah akan sulit diatasi.
Berdasarkan dari pendapat para tokoh agama dalam penyelesaian kasus ahmadiyah,
ahmadiyah harus dibubarkan atau membentuk sebuah agama sendiri yang tidak
mengatasnamakan islam, karena ajaran ahmadiyah menyimpang dari islam. Sebagai
tindak lanjut dari pendapat para tokoh agama, hendaknya presiden SBY memberikan instruksi kepada ahmadiyah untuk
membentuk sebuah agama baru yang tidak mengatasnamakan islam, karena kekuatan
instruksi presiden akan sangat berpengaruh dan dipatuhi oleh pemerintah di
bawahnya, seperti halnya kasus gayus yang memerlukan instruksi presiden dalam
penangannya.
Dengan adanya
instruksi presiden tersebut, para lembaga yang bertanggung jawab menangani
kasus ahmadiyah niscaya akan melaksanakan instruksi dari presiden. Kemudian
langkah selannjutnya yaitu dibentuknya undang-undang yang mengatur tentang
ahmadiyah agar tidak menyebarkan ajarannya kepada masyarakat yang sudah
beragama, serta memberikan aturan kepada masyarakat agar tidak memusuhi dan
bertindak anarkis terhadap ahmadiyah. Seandainya aturan-aturan yang ditetapkan
pemerintah dilanggar, baik oleh ahmadiyah atau pun masyarakat maka harus
dikenai hukuman yang setimpal dan sudah diatur keberadaannya. Tidak berhenti
sampai di sini, pemerintah juga harus menunjuk para tokoh agama dan masyarakat, mulai dari pusat hingga RT untuk
bersama-sama saling mengawasi perkembangan ahmadiyah dan masyarakat agar tidak
terjadi penyimpangan-penyimpangan yang melanggar aturan. Pemerintah juga harus
memberitahukan/menginformasikan kepada
masyarakat tentang keberadaan ahmadiyah
setelahnya agar tidak terjadi kesalah pahaman atau perselisihan lagi yang menimbulkan perlakuan anarkis.
No comments:
Post a Comment