Tas sudah kugendong dan HP udah kusaku, helmpun sudah
terpakai serta motor sudah siap untuk mengantarkanku ke tempat tujuanku siang
ini. “Turutututt”, bunyi sms dari hpku terdengar, memaksaku untuk menghentikan
langkahku menuju tempat parkir motor. Pikirku “sms dari siapa ini, apa dari
bapakku”. Sore ini memang aku ada janji ke tempat kerja bapakku. “Eh ternyata
dari bunda”. Alangkah senang hatiku sms yang kunantikan dari kemaren
sore akhirnya dibalas juga. Tapi tak seperti yang diharapkan. Sontak kaget aku
membaca sms balesan darinya. Tubuhku serasa lemas gemetaran, langkahku pun
sempoyongan meletakkan helm, kembali ke kamar dan tergeletak di kasur.
Tanpa pikir panjang aku langsung menelepon bunda. Mesti ada
ketakutan kalau telponku g’diangkatnya seperti telpon-telpon sebelumnya namun
aku beranikan diri untuk mencoba. Kali ini berbeda, ia mau mengangkat telponku.
Dengan kalimat yang terbata-bata dan nada yang lirih kumulai percakapan kami
dengan mengucap salam. Dia menjawabnya dengan nada yang tenang dan santai. Sontak
aku langsung mempertanyakan maksud smsnya kalau dia belum bisa untuk berbaikan
lagi denganku. Aku tak bisa menerima keadaan ini, aku kembali mencoba
mengajaknya untuk rukun dan baikan lagi. Tapi meski sudah kucoba dan memohon-mohon
ia bersikeras belum bisa untuk berkomitmen lagi.
Lama kami berdebat, mengklarifikasi apa yang sebenarnya
terjadi minggu kemaren, minggu yang membuat kami lost contact. Setelah
semua jelas aku tetap bersikeras untuk memintanya rujuk kembali, namun ia tetap
saja belum bisa. Memang salahku, yang serta merta tanpa memperhatikan situasi dan
kondisi, aku membuat keputusan yang kini sangat kusesali. Setelah kusakiti dia,
dan dia sudah bisa untuk bangkit lagi, kini kuminta dia untuk kembali
menerimaku lagi. Siapa yang mau jatuh untuk kedua kalinya, bahkan untuk kesekian
kalinya. Aku tetap tidak menyerah dan kuajak dia baikan lagi. Kucoba membuka
kembali memori indah kami saat bersama. Namun itu saja belum cukup, sama sekali
ia tak bergeming hatinya. Dia malah menyuruhku untuk berfikir lagi tentang kami
kedepan. Sudah kepalang sangat mencintainya itu yang aku rasakan, aku tak bisa
hidup tanpanya.
Aku tak bisa melepaskannya begitu saja. Namun meski kutahan ia
buru-buru mengakhiri percakapan kami dengan alasan sudah janjian pergi ke
sekolah untuk mengambil nilai PPLnya kemaren.
Aku terdiam di dalam kamar dan membatalkan segala aktifitas
yang telah kususun hari ini. Hanya merenung, berfikir dan mencari-cari akal
bagaimana aku bisa kembali mengajak bunda rukun lagi. Aku takkan pernah
menyerah.
No comments:
Post a Comment