Tuesday 14 May 2013

TANGANI KASUS AHMADIYAH, INSTRUKSI PRESIDEN SOLUSINYA


Ahmadiyah sebuah agama yang sampai saat ini menjadi perdebatan dan menurut beberapa tokoh menjadi sumber terjadinya kekerasan. Mulai dari tahun 2007 sampai saat ini sudah terjadi lebih dari puluhan kasus kekerasan yang menghilangkan nyawa gara-gara ahmadiyah.  Mulai dari kasus di bogor, jawa tengah dan akhir-akhir ini di cikeusik pandeglang banten, yang menghilangkan tiga nyawa dan lima orang luka-luka. Menurut beberapa tokoh, kejadian tersebut karena kurang puasnya terhadap pemerintah yang terkesan lamban, bahkan membiarkan ahmadiyah merajalela menyebarkan alirannya. Namun yang menjadi pertanyaan di sini adalah apakah dengan banyaknya kasus kekerasan dengan alasan bahwa ahmadiyah aliran sesat sampai saat ini bisa teratasi?. Apakah dengan kekerasan dapat menyelesaikan  suatu persoalan?

Sudah lama kasus kekerasan karena ahmadiyah sering terjadi di Indonesia, namun sampai saat ini, persoalan tersebut belum menemui titik terang untuk ditemukan solusinya. Masyarakat yang melakukan anarkis tersebut beralasan bahwa pemerintah lamban mengatasi masalah, sementara ahmadiyah sendiri tetap pada keyakinannya yang dianggap oleh sebagian masyarakat dan MUI adalah sesat dan menyebarkan paham tersebut kepada masyarakat. Mengenai keyakinan ahmadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa kepada ahmadiyah sebagai aliran sesat dengan alasan antara lain mengacu pada sebagian isi dari tadzkirah, kitab umat ahmadiyah. Diantaranya, Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Rosul “"Dan katakanlah, Hai manusia sesungguhnya saya rasul Allah kepada kamu sekalian." (Tadzkirah, hal 352), kemudian Ahmadiyah juga mengklaim Tadzkirah (kitab karangan  sebagai kitab suci yang paling benar: "Sesungghuhnya kami telah menurunkan kitab suci Tadzkirah ini dekat dengan Qadhian (India). Dan dengan kebenaran kami menurunkannya dan dengan kebenaran dia turun." (Tadzkirah, hal 637), (sumber: inilah.com). H.M. Jamaluddin, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, yang juga menjadi pengamat ahmadiyah  juga mencatat bahwa dalam buku memperbaiki kesalahan (judul asli Eik Ghalthi Ka Izalalah), yang ditulis sendiri oleh mirza gulam ahmad, disebutkan bahwa mirza mengaku menjadi perwujudan dari Nabi Muhammad saw. (A. Yogaswara, Heboh Ahmadiyah: 2008).


Dalam menangani kasus ahmadiyah tersebut, pemerintah telah mencoba  memberikan solusi yang terbaik, diantaranya dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri pada tahun 2008. Namun dengan terbitnya SKB tersebut, dinilai belum mampu mengatasi masalah ahmadiyah, karena pemerintah kurang sungguh-sungguh dalam penerapannya. Ahmadiyah yang cenderung menyiarkan dakwahnya terkesan dibiarkan, akhirnya mengundang masyarakat untuk main hakim sendiri.

Menurt penulis, tanpa adanya ketegasan dari pemerintah, kasus ahmadiyah akan sulit diatasi. Berdasarkan dari pendapat para tokoh agama dalam penyelesaian kasus ahmadiyah, ahmadiyah harus dibubarkan atau membentuk sebuah agama sendiri yang tidak mengatasnamakan islam, karena ajaran ahmadiyah menyimpang dari islam. Sebagai tindak lanjut dari pendapat para tokoh agama, hendaknya presiden SBY  memberikan instruksi kepada ahmadiyah untuk membentuk sebuah agama baru yang tidak mengatasnamakan islam, karena kekuatan instruksi presiden akan sangat berpengaruh dan dipatuhi oleh pemerintah di bawahnya, seperti halnya kasus gayus yang memerlukan instruksi presiden dalam penangannya.

Dengan adanya instruksi presiden tersebut, para lembaga yang bertanggung jawab menangani kasus ahmadiyah niscaya akan melaksanakan instruksi dari presiden. Kemudian langkah selannjutnya yaitu dibentuknya undang-undang yang mengatur tentang ahmadiyah agar tidak menyebarkan ajarannya kepada masyarakat yang sudah beragama, serta memberikan aturan kepada masyarakat agar tidak memusuhi dan bertindak anarkis terhadap ahmadiyah. Seandainya aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah dilanggar, baik oleh ahmadiyah atau pun masyarakat maka harus dikenai hukuman yang setimpal dan sudah diatur keberadaannya. Tidak berhenti sampai di sini, pemerintah juga harus menunjuk para tokoh agama dan  masyarakat, mulai dari pusat hingga RT untuk bersama-sama saling mengawasi perkembangan ahmadiyah dan masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang melanggar aturan. Pemerintah juga harus memberitahukan/menginformasikan  kepada masyarakat  tentang keberadaan ahmadiyah setelahnya agar tidak terjadi kesalah pahaman atau perselisihan  lagi yang menimbulkan perlakuan anarkis.

No comments:

Post a Comment