Tuesday 10 September 2013

PUASA ‘ASYURA

A. Pengertian Asyura
Secara bahasa, Asyura berarti kesepuluh. Ibnu Manzhur  dalam Lisânul ‘Arab mengatakan “Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram (al-yaum al-‘âsyir minal muharram)”. Para ulama berbeda pendapat tentang kapan puasa Asyura tersebut.
Pendapat pertama, yaitu Jumhur ulama baik salaf maupun khalaf, sebagaimana disampaikan oleh Imam Nawawi dalam Syarahnya terhadap Shahih Muslimmengatakan, bahwa puasa Asyura adalah puasa pada hari kesepuluh dari bulan Muharram. Imam al-Qurthubi, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalany dalam Fathul Bâri mengatakan: “Kata asyura adalah kata yang dipalingkan dari kata ‘âsyirah, dengan maksud untuk melebihkan dan mengagungkan (lilmubâlaghah wat ta’zhîm). Pada asalnya, kata ‘asyuraini sifat bagi malam kesepuluh, karena ia diambil dari kata al-‘asyr(sepuluh). Adapun hari nya (hari kesepuluh) adalah yang disandarkan kepadanya. Jika disebutkan hari Asyura, lanjutnya, maka seolah dikatakan, hari malam kesepuluh. Hanya saja orang-orang Arab memalingkan dari sifatnya, sehingga yang lebih dikenal adalah nama dari yang disifatinya (al-maushûf), karena itu mereka membuang kata ‘malam’ nya, sehingga menjadi nama untuk hari kesepuluh (bukan hari malam kesepuluh)”.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan puasa Asyura adalah puasa pada hari kesembilan dari bulan Muharram. Pendapat Ibnu Abbas ini sebagaimana disebutkan dalam hadits yang artinya: “Al-Hakam bin al-‘A’raj berkata: “Aku pergi menuju Ibnu Abbas yang sedang menjadikan selendangnya sebagai bantal kepala di dekat sumur Zamzam. Aku bertanya kepadanya: “Kabarkan kepadaku tentang puasa Asyura?”. Ibnu Abbas menjawab: “Jika kamu melihat hilal dari bulan Muharram, hitunglah, kemudian pada hari kesembilannya, berpuasalah”. Aku bertanya kembali: “Apakah demikian Rasulullah saw melakukan puasa Asyura?” Ibnu Abbas menjawab: “Iya” (HR. Muslim). Ibnu Hajar dalam Fathul Barimengatakan, pendapat ini berdasarkan kebiasaan orang Arab dahulu dalam memberi minum unta. Orang-orang Arab jika mereka menggembala unta selama delapan hari, mereka memberinya minum pada hari kesembilan, dan mereka berkata:
وردنا عِشْرا 
Artinya: ““Kami memberikan minum pada hari kesepuluh (‘isyran)”. Demikian juga, menurut Imam Nawawi dalam Syarahterhadap Shahîh Muslim, orang-orang Arab apabila memberikan minum pada hari kelima, mereka menyebutnya rib’ân (ربْعًا), demikian seterusnya. Karena itulah, Ibnu Abbas berpendapat bahwa Asyura adalah puasa pada hari kesembilan Muharram, bukan hari kesepuluh nya.



Pendapat ketiga, yaitu pendapatnya sebagian sahabat lainnya, sebagaimana disampaikan Abut Thayyib Âbâdî dalam bukunya ‘Aunul Ma’bûd, puasa Asyura adalah puasa pada hari kesebelas Muharram.
Dari ketiga pendapat di atas, pendapat paling kuat menurut para ulama adalah pendapat pertama, yaitu pendapatnya Jumhur ulama yang mengatakan bahwa puasa Asyura adalah puasa pada hari kesepuluh dari bulan Muharram. Imam az-Zain Ibnul Munîr, sebagaimana dikutip Ibnu Hajar mengatakan, jumhur ulama berpendapat bahwa Asyura adalah puasa pada hari kesepuluh dari bulan Allah, Muharram. Dan ini sesuai dengan asal usul dari kata tersebut, juga sesuai dengan penamaan itu sendiri. Ibnu Hajar, juga menguatkan pendapat Jumhur. Menurutnya, pendapat Jumhur ulama lebih kuat, juga di antaranya karena dikuatkan oleh hadits yang artinya: “Abdullah bin Abbas berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Jika aku masih hidup sampai tahun depan, aku pasti akan berpuasa pada tanggal sembilannya (juga)”. Dalam riwayat Abu Bakr, ia berkata: “Yaitu pada hari Asyura”. (HR. Muslim). Hadits ini menjadi dalil, lanjut Ibnu Hajar, bahwasannya Rasulullah saw berpuasa pada hari kesepuluh, dan beliau berniat untuk berpuasa juga pada tanggal sembilannya, hanya beliau meninggal sebelum melakukan itu.
Ibnu Hajar kemudian berkata bahwa hadits yang menjelaskan niat beliau untuk puasa pada tanggal sembilan, mengandung pengertian bahwa beliau tidak hanya berpuasa pada hari tersebut (tanggal 09), akan tetapi beliau menyandarkannya kepada hari kesepuluh juga. Ini dilakukan, baik sebagai upaya kehati-hatian, atau untuk menyalahi apa yang dilakukan Yahudi dan Nashrani. Dan pendapat ini (bahwa Asyura adalah tanggal sepuluh Muharram), adalah pendapat yang paling kuat”.

B. Hukum Puasa ‘Asyura
“Tatkala Nabi shalallaahu ‘alaihi wassalam datang ke Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa di hari ‘Asyura. Beliau shalallaahu ‘alaihi wassalam bertanya, “Hari apa ini?”. Orang-orang Yahudi menjawab, “Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah selamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa alaihis salam berpuasa pada hari ini. Nabi shalallaahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Saya lebih berhak mengikuti Musa dari kalian (kaum Yahudi). Maka beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummatnya untuk melakukannya”. (HR. Al Bukhari)
Para ulama sepakat bahwa hukum puasa ‘Asyura adalah sunnah, dan mereka berbeda pendapat mengenai hukumnya pada masa permulaan Islam tatkala  disyariatkan sebelum disyariatkannya puasa Ramadhan. Abu Hanifah berpendapat bahwa pada awalnya diwajibkan kemudian dihapus, dan diriwayatkan dari Imam Ahmad akan sunnahnya, begitu juga ucapan jumhur ulama, karena Rasulullah SAW tidak memerintahkan secara umum tentang puasa tersebut, bahkan beliau bersabda :
Dan dari Aisyah radhiallahu anha, ia mengisahkan,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
“Dahulu Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk puasa di hari ‘Asyura. Dan ketika puasa Ramadhan diwajibkan, barangsiapa yang ingin (berpuasa di hari ‘Asyura) ia boleh berpuasa dan barangsiapa yang ingin (tidak berpuasa) ia boleh berbuka”. (HR. Al Bukhari No 1897)
Jadi, setelah diwajibkannya puasa Ramadhan, puasa Muharram di hari ‘Asyura menjadi sunnah hukumnya. Sebelumnya Rasulullaah saw. sangat menekankan agar kaum muslimin berpuasa di hari ke sepuluh bulan muharram itu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Disunnahkan bagi yang puasa pada hari ‘Asyura untuk berpuasa pada tanggal sembilannya, karena hal tersebut adalah perintah rasulullah saw yang paling akhir”.

C. Keutamaan puasa Asyura 
Puasa Asyura mempunyai banyak keutamaan. Di antaranya adalah sebagai berikut: 
1.      Rasulullah saw menaruh perhatian sangat besar untuk puasa Asyura.
Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Abbas pernah berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw begitu perhatiannya untuk berpuasa satu hari melebihi puasa-puasa sunnat lainnya, selain puasa pada hari ini, yaitu puasa ‘Asyurâ’, juga puasa di bulan ini, yaitu puasa Ramadhan” (HR. Bukhari). Bahkan, dalam arti hadits di bawah ini lebih ditegaskan lagi, ada empat amalan sunnat yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. Satu di antaranya adalah puasa Asyura. “Hafshah berkata: “Ada empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw: Puasa ‘Asyura’, puasa sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah (maksudnya puasa dari tanggal 01-09 Dzulhijjah), puasa tiga hari setiap bulan Islam, dan shalat dua rakaat sebelum shalat Shubuh (qabliyyah Shubuh)” (HR. Nasai dan Ahmad). 
2.      Puasa Asyura berada pada bulan haram yang paling mulia, yaitu bulan Muharram.
Di antara keutamaan lainnya dari puasa Asyura adalah, ia berada pada salah satu bulan Muharam. Bulan Muharam adalah bulan yang mulia dan dimuliakan, karena itu tidak diperbolehkan melakukan peperangan di dalamnya. Dari dua belas bulan yang ada, yang termasuk bulan-bulan haram hanya empat: Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dari keempat bulan haram di atas, menurut jumhur ulama, bulan yang paling utama adalah bulan Muharram, kemudian  bulan Rajab, Dzulhijjah  dan terakhir Dzulqa’dah. Dan dari seluruh hari bulan Muharram, menurut para ulama, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Lathâiful Ma’ârif nya, hari-hari yang paling utama adalah sepuluh hari pertamanya.
Saking utamanya bulan Muharram ini, ia juga disebut dengan bulan Allah (Syahrullâh), di mana puasa yang paling utama dilakukan setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram. Dan puasa Asyura adalah salah satu puasa yang berada di dalamnya, bahkan yang berada dalam sepuluh hari pertama dari bulan Muharram. Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, bulan Muharram. Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam” (HR. Muslim).
Dalam Madzhab Syafi’i disebutkan, puasa sunnat semakin banyak sebabnya, maka semakin penting untuk dilakukan, sekaligus semakin besar pahalanya. Puasa Senin Kamis, jika dilakukan pada bulan Haram, maka lebih besar pahalanya, karena berkumpul dua sebab, yaitu puasa Senin Kamis nya, dan dilakukan pada bulan Haram. Puasa Asyura lebih besar lagi pahalanya, karena berkumpul tiga sebab di dalamnya, yaitu karena dia Asyura, kedua, karena jatuh pada pada bulan Haram, yaitu pada bulan Muharram, dan ketiga, karena berada pada sepuluh hari pertama dari bulan Muharram. Demikian penuturan Syaikh Khâlid bin Abdullah asy-Syaqafah dalam bukunya: Ad-Dirâsât al-Fiqhiyyah ‘Alâ Madzhab al-Imâm asy-Syâfi’î Fî al-‘Ibâdât Wa Adillatuhâ. 
3.      Puasa Asyura dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu.
Di antara keutamaan puasa Asyura lainnya  adalah, dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu, sebagaimana sabda Rasulullah saw yang artinya: “Dari Abu Qatadah, Rasulullah saw kemudian bersabda: “…Puasa pada hari Arafah, aku berharap kepada Allah dapat menutupi dosa pada satu tahun sebelumnya, juga pada satu tahun setelahnya. Sedangkan puasa ‘Asyura’, aku berharap kepada Allah dapat menghapus dosa satu tahun sebelumnya” (HR. Muslim).
Jumhur ulama mengatakan, bahwa dosa yang akan diampuni dimaksud adalah dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar, maka harus melalui taubat. Syaikh al-Mubârakfury dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzî, mengatakan, mengapa puasa Arafah dapat menghapus dosa-dosa selama dua tahun, sedangkan puasa Asyura hanya satu tahun? Jawabannya, sebagaimana juga disampaikan Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri, karena puasa Asyura adalah syariat Nabi Musa as, sedangkan puasa Arafah adalah syariat Nabi Muhammad saw. Karena itu, maka puasa Arafah lebih utama dari pada puasa Asyura. 
4.      Hari Asyura adalah hari di mana para nabi juga melakukan puasa di dalamnya.
Di antara keutamaan puasa Asyura lainnya adalah, bahwa para Nabi juga melakukan puasa di dalamnya. Ini juga semakin  mempertegas penting dan utamanya puasa Asyura dalam Islam. Nabi Musa as, misalnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini, beliau berpuasa pada hari Asyura sebagai rasa syukur kepada Allah telah diselamatkannya dari Fir’aun beserta bala tentaranya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits yang artinya: “Dari Ibnu Abbas, bahwasannya ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, beliau mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’. Rasulullah saw berkata kepada mereka: “Hari apa ini di mana kalian berpuasa padanya?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari istimewa, di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa as beserta kaumnya, dan Allah menenggelamkan Fir’aun beserta pasukannya. Nabi Musa as berpuasa (padanya) sebagai rasa syukur, dan karena itu kami juga berpuasa. Rasulullah saw bersabda: “Kami lebih berhak dan lebih utama kepada Nabi Musa as dari pada kalian”. Rasulullah saw pun kemudian berpuasa, dan beliau memerintahkan (para sahabatnya) untuk berpuasa” (HR. Muslim).
Selain Nabi Musa as, Nabi Nuh as pun juga demikian. Nabi Nuh as juga berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah, karena pada hari itu, perahu yang ditumpanginya berlabuh di gunung Judiy, setelah kurang lebih empat puluh hari berada di atas air. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini: 
عن أبى هريرة قال: مر النبى صلى الله عليه وسلم بأناس من اليهود قد صاموا يوم عاشوراء، فقال: ((ما هذا من الصوم؟)). قالوا: هذا اليوم الذى نجى الله موسى وبنى إسرائيل من الغرق، وغرق فيه فرعون، وهذا يوم استوت فيه السفينة على الجودى، فصام نوح وموسى شكرا لله تعالى، فقال النبى صلى الله عليه وسلم: ((أنا أحق بموسى وأحق بصوم هذا اليوم))، فأمر أصحابه بالصوم [رواه أحمد]
Artinya: “Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw melewati sekelompok orang Yahudi yang sedang berpuasa pada hari ‘Asyura’. Rasulullah saw bersabda: “Puasa apa ini?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil dari tenggelamnya (di Laut Merah). Pada hari ini juga Allah menenggelamkan Fir’aun. Pada hari ini juga perahu Nabi Nuh as, berlabuh di gunung Judiy, Nabi Nuh dan Nabi Musa as pun berpuasa padanya sebagai rasa syukur kepada Allah”. Rasulullah saw bersabda kembali: “Aku lebih berhak kepada Musa, dan aku juga lebih berhak untuk berpuasa pada hari ini”. Rasulullah saw pun memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa” (HR. Ahmad).
Bahkan, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, disebutkan bahwa yang melakukan puasa pada hari Asyura bukan semata Nabi Muhammad saw, Nabi Musa as dan Nabi Nuh as, akan tetapi seluruh para nabi melakukannya. Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Hari Asyura adalah hari di mana para Nabi dahulu juga melakukan puasa padanya. Karena itu, berpuasalah kalian padanya” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannafnya).
Bahkan, bukan hanya para Nabi, akan tetapi orang-orang Quraisy pada masa Jahiliyyah, Ahlul Kitab, juga anak-anak pun turut melakukan puasa Asyura ini, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang artinya: “Aisyah berkata: “Puasa ‘Asyura’ adalah puasa di mana orang-orang Quraisy pada masa Jahiliyyah berpuasa di dalamnya. Rasulullah saw juga berpuasa padanya. Ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, beliau juga berpuasa dan memerintahkan (para sahabatnya) untuk berpuasa. Ketika diwajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah saw meninggalkan puasa ‘Asyura’. Siapa yang mau, silahkan berpuasa, dan siapa yang tidak mau, silahkan meninggalkannya” (HR. Bukhari).
5.      Pada hari Asyura terjadi banyak peristiwa agung.
Termasuk keutamaan hari Asyura, yaitu tanggal sepuluh Muharram, adalah banyaknya terjadi peristiwa-peristiwa agung. Di antaranya, diselamatkannya Nabi Musa as beserta kaumnya dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya, ditenggelamkannya Fir’aun beserta bala tentaranya, juga berlabuhnya kapal Nabi Nuh as di atas gunung Judiy, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di atas. Selain itu, Ibnu Abbas, Ikrimah, juga Qatadah berpendapat, pada hari Asyura juga Allah menerima taubatnya Nabi Adam as. Bahkan, Qatadah menambahkan, pada hari Asyura juga Allah menurunkan Adam as ke bumi.
Imam Ali bin Abi Thalib juga mengatakan, bahwa hari Asyura ini juga adalah hari di mana Allah menerima taubatnya kaum Nabi Yunus as.  Apa yang disampaikan para sahabat dan tabi’in di atas sejalan dengan sabda Rasulullah saw yang artinya: “Ali bin Abi Thalib berkata: “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw, ketika saya sedang duduk. Ia bertanya: “Ya Rasulullah, bulan apa yang Anda perintahkan saya untuk berpuasa di dalamnya setelah bulan Ramadhan?” Rasulullah saw menjawab: “Jika kamu hendak berpuasa setelah bulan Ramadhan, puasalah pada bulan Muharram, karena bulan Muharram adalah bulan Allah. Pada bulan Muharram itu ada satu hari di mana Allah menerima taubat satu kaum, dan pada hari itu juga Allah menerima taubat kaum yang lainnya” (HR. Turmudzi. Imam Turmudzi berkata: “Hadits ini Hadits Hasan Gharib”).



D. Niat dan Cara Berpuasa Hari Asyura
Pada dasarnya puasa Asyura itu sama dengan puasa sunah lainnya dalam pelaksanaanya. Niat Puasa Bulan Muharram (Puasa ’Asyura)
نويت صوم عشر سنة لله تعالى
NAWAITU SAUMA ‘ASYURA LILLAHI TA’ALA
Artinya : “Saya niat puasa hari ’Asyura, sunnah karena Allah ta’ala.”

Cara Berpuasa Di Hari Asyura’, antara lain:
1.      Berpuasa selama tiga hari tanggal 9, 10 dan 11 Muharram. 
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafazh sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyah dalam al-Muntaqa 2/2, “Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan sehari setelahnya.” 
Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang al-Urf asy-Syadzi, “Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum atau sesudahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi.” Namun didalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata (Zaadul Ma’ad 2/76), “Ini adalah derajat yang paling sempurna”. Syeikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan” “Inilah yang paling utama.” 
Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memiliki pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10, 11 Muharram) adalah asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syeikh Muhammad Yusuf al-Banury dalam Ma’arifus Sunan 5/434. Namun mayoritas ulama’ yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk lebih hati-hati . Ibnul Qudamah di dalam al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.


2.      Berpuasa pada tanggal 9 dan 10.
Mayoritas hadits menunjukkan cara ini: Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura’ dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh orang Yahudi”. Maka beliau SAW bersabda, “Di tahun depan Insya allah kita akan berpuasa pada tanggal 9”, tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah SAW telah wafat.” (HR. Muslim) 
Dalam riwayat lain, “Jika aku masih (hidup) pada tahun depan sungguh aku akan puasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim). Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245): “Keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari kesepuluh. Kemungkinan untuk hati-hati dan mungkin juga untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan oleh sebagian riwayat Muslim”.
Dari ‘Atha’, dia mendengar Ibnu Abbas berkata: “Selisihlah Yahudi, berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh”. (Abdurrazaq 4/287).
3.      Berpuasa dua hari yaitu tanggal sembilan dan sepuluh atau sepuluh dan sebelas.
“Berpuasalah pada hari ‘Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (Hadist Dhaif Riwayat Ahmad). Hadits marfu’ ini tidak shahih karena tiga illat (cacat):
- Ibnu Abi Laila, lemah, karena hafalannya buruk. 
- Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah 
- Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal
  daripada perawi jalan sanad marfu’.
Jadi hadits di atas shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Matsurah karya as-Syafi’I no. 335 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahzibul Atsar 1/218. Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma’arif, hal: 49): “Dalam sebagian riwayat disebutkan “atau sesudahnya” maka kata “atau:” disini mungkin merupakan keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan …”. Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246): “Dan ini adalah akhir perkara Rasulullah SAW, dahulu beliau SAW suka menyocoki Ahli Kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termasyhur, beliau suka menyelisihi Ahli Kitab sebagaimana dalam hadits shahih. Maka ini (masalah puasa Asyura’) termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau mencocoki Ahli kitab dan berkata: “Kami lebih berhak atas Musa dari pada kalian (Yahudi)”, kemudian beliau menyukai menyelisihi Ahli kitab, maka beliau menambahi sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi Ahli kitab. 
Ar-Rafi’i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213): “Berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada tanggal sembilan maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal sebelas”.
4.      Berpuasa pada tanggal sepuluh saja
Al-Hafidz berkata (Fathul Bari 4/246): “Puasa Asyura mempunyai tiga tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan di atasnya ditambah puasa tanggal sembilan dan tingkatan berikutnya ditambah puasa sembilan dan sebelas.

E.  Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Puasa Asyura, menurut pendapat paling kuat, adalah puasa pada tanggal sepuluh Muharram.
2. Puasa Asyura hukumnya sunnat.
3. Terdapat tiga tingkatan puasa Asyura:
Pertama, berpuasa tiga hari, yaitu tanggal 09, 10 dan 11 Muharram. Kedua, berpuasa dua hari, yaitu tanggal 09 (tâsû’â’) dan tanggal 10 Muharram (âsyûrâ’). Ketiga, berpuasa hanya pada satu hari saja, yaitu pada tanggal  10 Muharram. Dari ketiga tingkatan puasa di atas, puasa yang paling utama (afdhal) adalah puasa selama tiga hari, kemudian puasa dua hari, dan terakhir puasa satu hari, tanggal sepuluh Muharram saja. Hanya, menurut Madzhab Hanafi, makruh hukumnya jika berpuasa hanya pada tanggal sepuluh saja, karena di antaranya, menyerupai puasanya Yahudi. Sebaiknya juga berpuasa sebelumnya, yaitu tanggal 09 Muharram.
4. Puasa Asyura mempunyai banyak keutamaan. Di antaranya dapat menghapus dosa-dosa kecil setahun yang lalu, Rasulullah saw tidak pernah meninggalkannya, juga puasa ini dilakukan oleh banyak para Nabi, di antaranya oleh Nabi Musa as dan Nabi Nuh as.
5. Selain berpuasa, pada hari Asyura juga para ulama menganjurkan memperbanyak ibadah-ibadah lainnya, seperti memperbanyak beristighfar, bertaubat, membaca al-Qur’an, shalat  sunnat, berdoa, berdzikir dan lainnya. Hanya, ada dua ibadah yang ditekankan, sebagaimana disebutkan dalam buku-buku fiqih khususnya Fiqih Hanafi, yaitu bersedekah dengan harta dan memberikan nafkah, keperluan keluarga lebih banyak dan lebih lapang lagi. Karena dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath disebutkan: 
عن أبي سعيد الخدري قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: ((من وسع على أهله في يوم عاشوراء، أوسع الله عليه سنته كلها)) [رواه الطبراني في المعجم الأوسط]
Artinya: “Abu Said al-Khudry berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang memberikan kelapangan kepada keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan memberikan kelapangan kepadanya selama satu tahun penuh” (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath).
Harb, sebagaimana dinukil Ibnu Rajab dalam Lathâiful Ma’ârif, pernah menanyakan kedudukan hadits di atas kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam Ahmad menilai tidak apa-apa (lam yarahû syai’an). Ibnu Manshur juga pernah menanyakan kepadanya apakah ia pernah mendengar hadits tersebut, Imam Ahmad mengatakan: “Iya”. Wallahua’lam bishowab.




REFERENSI

Al-Hilali, Abu Usamah Salim bin ‘Ied. Syarah Riyadhush Shalihin Jilid 4, (Jakarta: Pustaka Imam, 2005).
Al-Khubaisi, Iyadah bin Ayyub. 40 Amalan Ringan Berpahala Besar, (Jakarta: Gema Insani, 2008).
Sya’rawi, Syeikh Mutawalli. Keutamaan Puasa Menurut Syari’at dan Kedokteran, (Bandung: Quntum Media, 2007).
Nashif, Saiman. Buku Pintar Muslim, (Solo: Pustaka Arafah, 2006).
Nada, Abdul Azizbin Fathi As-Syayid. Ensiklopedi Adab Muslim, (Jakarta: Niaga Suadaya, 2007).
Faza, Asrar Mabrur. Mengapa Harus Puasa Senin-Kamis?, (Jakarta: Media Pustaka, 2010).

No comments:

Post a Comment